Ada yang merasa relate dengan kejadian tahun 1998?
Saat itu saya sudah duduk di bangku sekolah dasar tapi kejadian yang paling teringat adalah harga dollar naik banget dan pak Soeharto mundur dari jabatan Presiden Indonesia.
Dibalik itu, ternyata tersimpan kisah pilu yang belakangan saya baru tahu. Terutama setelah membaca Novel Laut Bercerita besutan Leila S. Chudori.
Sekilas Tentang Laut Bercerita
Ya, Laut Bercerita adalah kisah manis, pekat, greget dan pilu dibalik hilangnya para aktivis 1998 yang sampai saat ini belum ditemukan.
Adalah Biru Laut, sang aktor utama yang sangat mencintai sastra dan kepenulisan. Sastra kemudian membuatnya menjadi berani. Berani mencari jati dirinya dan berani menyuarakan pendapat dengan kawan-kawannya yang sepemikiran.
Dan ia pun menjatuhkan pilihan pada jurusan Sastra Inggris di Universitas Gajah Mada.
Tak lama, ia bertemu Kinan yang membujuk Biru Laut bergabung dalam gerakan Winatra. Sekelompok mahasiswa yang menginginkan perubahan pada bangsa dan menyebut diri mereka sebagai Wirasena.
Disanalah mereka bertukar pikiran, berdebat, menyadarkan pemerintah, merencanakan aksi hingga bergabung dengan buruh dan petani dalam memperjuangkan hak mereka.
Saat itu, pemerintah memang sudah terlalu berkuasa hingga batas wewenang melompat menjadi kesewenangan. Dan tentu saja korban terbesarnya adalah rakyat.
Salah satunya adalah Aksi Blangguan yang memaksa lahan pertanian rakyat diubah menjadi tempat latihan militer.
Winatra pun beraksi dan bersama-sama petani ingin berdemo.
Sayangnya, rencana itu bocor dan mereka pun bertolak ke Surabaya demi mengadu pada seorang wakil rakyat yang dikira bisa menjadi kawan perjuangan.
Sayangnya, aduan mereka malah mejadi malapetaka dan intel akhirnya menangkap serta menyiksa mereka.
Sejak saat itu, mereka bertekad menjadi lebih hati-hati, berani dan tabah.
Mereka pun terus berjuang hingga akhirnya Winatra dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan nama-nama mereka masuk kedalam list pencarian teratas oleh intel dan pemerintah.
Mulai saat itulah hidup mereka terancam dan sering berpindah tempat.
Di bagian kedua bercerita Asmara Jati, sang adik dari Biru Laut yang harus menanggung kepedihan kehilangan kakak tercinta.
Tak hanya itu, Asmara Jati juga harus kehilangan kehangatan kedua orangtua yang menolak kenyataan bahwa anak pertama mereka sudah hilang dan tak akan kembali.
Sesi ini mungkin terlihat emosional sebab menunjukkan bagaimana mereka harus bertahan dengan segala ketidakpastian.
Pilu. Hilang. Mati Rasa.
Asmara mau tidak mau harus tetap bertindak rasional namun tak kuasa untuk hidup dalam kepompong yang dibuat oleh orangtuanya.
Tahun-tahun pertama begitu sulit dan penuh penyangkalan.
Hehe, penasaran kan bagaimana detil ceritanya? Baca bukunya aja deh. Semoga ketagihan. Hoho.
Penokohan dan Alur Dalam Buku Laut Bercerita
Ada dua tokoh utama yang diangkat dalam buku ini. Yaitu Biru Laut yang cool, tenang dan misterius. Seperti idola cewek-cewek lah ya.
Tokoh utama lainnya adalah Asmara Jati yang ekspresif, hangat dan ceria. Bungsu yang manja berubah menjadi dewasa karena keadaan.
Selain itu ada Kinan yang dewasa, berpikir rasional dan bertanggung jawab. Lalu mas Gala yang merupakan gambaran seperti sosok mas Wiji Thukul (sastrawan) yang juga ikut hilang dan belum kembali hingga saat ini.
Ada Daniel yang cerewet, kekanakan namun ceria. Sunu yang dewasa dan objektif. Naratama yang kritis. Dan Alex Perazon yang tenang, dewasa dan misterius.
Dalam buku ini ada dua sudut pandang dari dua tokoh utama dengan alur yang maju mundur. Kadang Laut bercerita tentang dirinya yang sekarang, kadang juga berkisah tentang peristiwa sebelum dirinya ditangkap.
Pembaca harus jeli betul dalam merajut kisah ini agar tidak kebingungan ditengah jalan.
Belum lagi topik yang agak berat meski Leila sudah menggambarkannya dengan bahasa yang sesederhana mungkin.
Tapi, memang disitu tantangannya kan. Tidak semua orang bisa menikmati buku bergenre historical fiction ini.
Pengalaman Membaca Laut Bercerita
Bengong.
Yap, saya bengong dan masih tidak percaya jika kisah ini pernah terjadi di negara ini. Apalagi saya sudah lahir saat itu. Wah, gue kemana aja ya selama ini sampai-sampai gak ngerti ceritanya.
Tapi, buku ini sukses mengembalikan ingatan saya saat menjadi mahasiswa. Ketika dulu ikut berdemo saat bahan bakar minya naik, menuntut saat Susilo Bambang Yudhoyono hadir di kampus dan berbagai kebijakan lain yang tidak pro rakyat dan mahasiswa.
Sesi Biru Laut adalah masa-masa terkenan dengan jayanya menjadi mahasiswa. Idealis dan demokratis.
Juga tak percaya bahwa ada masa ketika Indonesia dibungkam. Kebebasan berpendapat dan menyuarakn hak itu adalah hal yang terlarang.
Bahkan membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer saja sudah menjadi incaran lalat-lalat pemerintah. Sajak-sajak Wiji Thukul bahkan tak boleh beredar.
Sungguh pengekangan itu melahirkan sosok seperti mas Gala, Bram, Kinan, Sunu, Alex, Naratama, Daniel, Anjani, dan tentunya Biru Laut sendiri.
Bagian kedua lebih bersifat emosional. Dimana Biru Laut masih belum kembali. Dua tahun sudah tak ada kabar kepastian dari mereka.
Masih hidupkah? Sudah Matikah? Atau dibuang ke luar negeri?
Jika hidup, ada dimana? Jika mati, dikubur dimana? Dan jika ke luar negeri, mengapa tak kunjung dipulangkan?
Padahal orde baru sudah berganti reformasi. Buku-buku Pram sudah mulai beredar. Para mahasiswa tak takut lagi bersuara.
Tapi hilangnya Biru Laut dan kawan-kawannya membuat para keluarga bungkam. Terbungkus dalam kenangan dan harapan yang mereka rawat setiap hari.
Ah, ini bagian yang menyakitkan bagi saya.
Saya sendiri masih tak percaya bahwa mereka belum dikembalikan hingga saat ini pada keluarga mereka.
Hingga mereka membentuk aksi kamisan yang tiap kamis berdiri depan istana agar pemerintah tidak abai dengan kasus penghilangan paksa ini.
Sayang, 4 kali sudah presiden Indonesia berganti sejak Soeharto lengser tapi keadilan belum jua ditemukan.
Mereka betul-betul tabah dan setia seperti tabahnya mereka berdiri setiap kamis sore demi #menolaklupa.
Namun, sedikit hal yang mengganjal adalah alasan terbesar mengapa Biru Laut dan teman-temannya itu terlihat memberontak tidak tersampaikan. Detail peristiwa dan apa yang sudah dilakukan pemerintah sehingga mereka selalu melawan juga tidak terlalu tergali.
Saya sendiri sampai bingung kenapa ada aksi Blangguan. Jauh-jauh mereka naik bisa dari Jogja menuju Jawa Timur untuk mmbantu petani di Blangguan.
Setelah googling sendiri, akhirnya saya paham kenapa mereka mau melakukan aksi Blangguan yang terlecut dari Sajak Seonggok Jagung dari W.S. Rendra.
Sajak-sajak yang tertera di buku Laut Bercerita memang sebagiannya tentang perjuangan dan kisah inspirasi saat orde baru. Dan berhasil melecut semangat. Hehe.
Satu hal lagi yang agak mengganggu adalah bagian romantisasi yang terlalu berlebihan. Inginnya romatis tapi malah jadi erotis. Harusnya, jika ada adegan-adegan begini maka novelnya diberi peringatan khusus untuk 21+.
Apalagi gambaran penyiksaan juga cukup detil. Maka pemberian rating buku akan sangat membantu.
Posting Komentar
Posting Komentar